Mengenal Penyakit Ekor Putih (White Muscle Disease)
Pada Udang Galah (Macrobrachium
rosenbergii de Man)
Oleh : Dian
Risnandar, S.Pi
(Penyuluh Perikanan
Muda)
PENDAHULUAN
Udang
galah (Macrobrachium rosenbergii) memiliki beberapa
keunggulan dibandingkan udang tawar
lainnya, di antaranya capaian
ukuran badan yang besar dan kemampuan adaptasi yang cukup luas pada beberapa
lingkungan budidaya dengan kisaran salinitas 0%-12%. Potensi keunggulan
tersebut menjadikan udang galah sebagai komoditas utama budidaya di
negara-negara Indo-Pasifik, termasuk Indonesia (Wowor & Ng, 2007; New et
al.,2010). Secara umum, udang galah lebih resisten terhadap penyakit
dibandingkan udang penaid (Ravi et al.,
2009; Hameed et al., 2011). Hingga awal 2011, insidensi
penyakit
serius,
khususnya infeksi virus belum menjadi kendala dalam sistem budidaya udang galah
di Indonesia.
Permasalahan
baru yang cukup serius dalam kegiatan pembenihan udang galah adalah munculnya
insidensi penyakit ekor putih (white tail disease) yang disebabkan oleh virus.
White tail disease (WTD) atau white muscle disease (WMD) merupakan infeksi
virus yang disebabkan oleh Macrobrachium rosenbergii Noda Virus
(MrNV) yang berasosiasi dengan extra
small virus.. Gejala yang ditimbulkan oleh kedua virus tersebut adalah
munculnya warna putih-susu pada tubuh larva, pasca larva (PL), dan yuwana muda.
Dampak yang ditimbulkan adalah kematian massal pada benih udang galah.
Perkembangan
penyakit ekor putih yang disebabkan oleh infeksi MrNV sangat mengkhawatirkan
bagi keberlangsungan budidaya udang galah di Indonesia. Dalam kegiatan Jejaring
Pemuliaan Udang Galah Nasional pada tahun 2011 dilaporkan bahwa telah terjadi
infeksi WTD di sentra pembenihan di Pelabuhan Ratu pada tahun 2009 dan di Unit
Kerja Budidaya Air Payau Samas, Bantul
Penyakit
Ekor Putih (White Tail Disease)
Penyakit
ekor putih (White tail disease, WTD) merupakan
infeksi virus yang disebabkan oleh Macrobrachium
rosenbergii Noda Virus (MrNV) dan berasosiasi dengan extra
small virus. Gejala yang ditimbulkan oleh kedua virus tersebut adalah
munculnya warna putih-susu pada tubuh larva, pasca larva (PL), dan yuwana muda.
Dampak yang ditimbulkan adalah kematian massal pada benih udang galah. Namun
demikian, penyakit tersebut tidak menimbulkan permasalahan berarti pada udang
galah dewasa
Dampak
Terhadap Budidaya
Yuwana
udang galah (PL-7—10) yang selama pembenihan
tidak mengindikasikan terinfeksi WTD dipelihara secara intensif dengan
kepadatan tinggi, 3.000 ekor/m2. Setelah tiga hari
pemeliharaan mulai nampak beberapa ekor yuwana yang mengalami perubahan warna
pada bagian ekor, dari warna jernih keabu-abuan menjadi putih. Yuwana tersebut
berenang lemah atau cenderung menempel di atas
waring
hitam. Yuwana yang mengindikasikan terjangkit WTD ditampilkan pada Gambar 2.
Dalam waktu seminggu jumlah yuwana yang diduga terinfeksi WTD semakin banyak
dengan sebaran warna putih menyebar ke bagian abdomen. Dampak serangan WTD
mulai mereda setelah yuwana melewati 15 hari pemeliharaan, akan tetapi sintasan
yuwana saat panen relatif rendah Dalam kondisi normal sintasan udang galah
selama 30 hari masa pendederan I berkisar 70%-90%, bergantung sistem
pemeliharaan dan padat tebar benih.
Melalui
manajemen pemeliharaan optimal, meliputi pemberian pakan yang tepat, pergantian
air secara rutin sebesar 30% volume/hari, penempatan naungan untuk berlindung
udang yang moulting, serta kondisi suhu,
dan pH stabil maka kasus kematian massal benih jarang terjadi. Berbeda dengan
kasus kematian yang disebabkan faktor lingkungan dan infeksi bakteri atau
parasit yang terjadi pada pertengahan pemeliharaan, kematian benih yang
disebabkan oleh MrNV terjadi pada awal fase pendederan,
dengan
parameter fisika-kimia air optimal. Meskipun PL yang dipelihara berasal dari
bak yang tidak terindikasi gejala penyakit ekor putih, ternyata setelah 3-5
hari pemeliharaan sebagian kecil benih sudah terlihat bercak putih pada ujung
ekor (uropod dan telson).
run seiring usia benih sehingga sekitar 60% benih bertahan hidup hingga mencapai ukuran panjang total 3-5 cm. Hal tersebut sesuai pernyataan Qian et al. (2003) dan Sahul Hameed et al. (2004) dalam Ravi et al. (2009) yang menyatakan bahwa MrNv cenderung menginfeksi larva dan PL udang galah, tetapi tidak menyerang udang dewasa. Udang galah dewasa lebih resisten terhadap infeksi virus karena memiliki mekanisme pertahanan lebih baik dibanding PL.
Langkah
Strategik Mengatasi Ekor Putih
Penyebaran
virus sangat cepat, sebagaimana yang terjadi pada sistem budidaya udang windu
pada era 1990-an dan udang vaname pada era 2005. Hal tersebut dikarenakan
adanya mekanisme penyebaran virus secara vertikal, melalui jalur genetik atau
sistem breeding dan mekanisme
horizontal lewat air sebagai media budidaya dan beberapa organisme yang
berperan sebagai pembawa (carrier), seperti krustase, zooplakton, burung, dan
kepiting. Kondisi tersebut menyebabkan rumitnya penanganan penyakit yang
disebabkan
oleh virus. Sejumlah langkah standar, seperti Biosecurity, penggunaan
benih SPF (specific pathogen free), dan benih tahan virus SPR (Specific
pathogen resistance) harus dilakukan secara intensif.
Biosecurity,
merupakan langkah pencegahan yang dirasa paling efektif mengatasi penyakit
khususnya yang disebabkan oleh virus. Biosecurity dilakukan
pada semua aspek yang terkait sistem penyediaan induk
dan
benih. Sterilisasi melalui desinfektasi air, peralatan, dan wadah yang
digunakan, lingkungan budidaya, dan personil yang terlibat merupakan langkah
standar yang harus dilakukan. Monitoring periodik, pada fase larva, benih, dan
induk yang digunakan melalui pengecekan dengan metode yang handal, seperti PCR
juga harus senantiasa dilakukan.
KESIMPULAN
Sistem
budidaya udang galah di Indonesia menghadapi permasalahan serius terkait
munculnya infeksi penyakit ekor putih, yang menyebabkan kematian massal pada larva
dan benih. Dampak serangan yang sangat parah menyebabkan semua anggota Jejaring
Pemuliaan Udang Galah mengusulkan penyakit tersebut dalam daftar hama dan
penyakit ikan. Guna mengantisipasi dampak lebih parah dan penyebaran virus yang
semakin meluas maka serangkaian langkah, seperti biosecurity,
monitoring berkala, dan penggunaan benih SPF dan SPR, harus
senantiasa diupayakan demi keberlanjutan kegiatan budidaya udang galah.
Semoga bermanfaat dan semoga ikan-ikan nila tetap sehat dan sukses sampai
panen.
Sumber :
Ikhsan Khasani
Balai Penelitian Pemuliaan Ikan
Jl. Raya 2 Sukamandi, Subang 41256
Komentar
Posting Komentar